Filosofi Padi: Menunduk bukan berarti tunduk
kepala menunduk untuk menundukkan hati
Filosofi
padi semakin berisi semakin menunduk saya kenal sejak saya masih duduk di
bangku SD. Guru bahasa Indonesia saya saat itu menekankan kalimat bijak ini
untuk kami resapi dan kami terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Saat itu saya
yang masih kecil mengangguk lugu dan kagum. Bagaimana bisa, siklus tumbuh
kembang padi memiliki arti yang begitu dalam.
Semakin
berisi semakin menunduk memang bukan sekedar seremonial menundukkan kepala
seperti saat mengheningkan cipta di satu upacara bendera. Namun hatilah yang
bermain di dalamnya. Bentuknya adalah, kesadaran diri kita bahwa semakin kita
mengetahui sesuatu, semakin kita merasa tidak tahu. Semakin sadar betapa
kecilnya kita di dunia ini.
Sifat
apa yang bisa dikaitkan dengan ini adalah sifat sombong dan menunjukkan rasa
ingin lebih dari orang lain. Rasa yang manusiawi sekali hinggap di hati kita
masing-masing. Rasa yang datang dan menelusup perlahan hingga tanpa kita sadari
mengakar, bertunas, tumbuh kembang dan membesar. Buahnya adalah kita berhenti
mau mendengarkan orang lain, menganggap diri selalu tahu sesuatu, menganggap
diri kita dan prinsip hidup kita adalah yang paling benar dan menganggap kecil
orang lain.
Rasa
ini mengikis kepekaan dan empati dalam diri. Belum lagi bila gengsi menemani
akan terasa makin membengkak dan membentuk penyakit hati tak terperi. Sombong,
Riya, bermuara pada iri dan dengki. Itu semua membuat secara perlahan sepotong
hati yang bersih dan lembut itu akan hitam legam dan mengeras bila tidak segera
diobati.
Untuk
itu, filosofi padi memang sangat pas dan mengena di sini. Senantiasa
menundukkan hati kita pada siapapun yang kita temui dan kejadiaan apapun yang
terjadi adalah pondasi untuk melangkahkan kaki. Kesederhanaan tingkah laku dan
tutur kata menjadi poin yang harus pula dicermati. Karena cukuplah ide dan
kerja kita yang besar namun tingkah laku dan tutur kata kita tidak perlu
mengikuti.
Untuk
pengingat diri sendiri J
Tasik
13/01/2012 02.30